Jakarta - Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Abdul Chair Ramadhan, menyoroti putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tentang sanksi peringatan keras kepada Ketua dan anggota KPU terkait proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Abdul Chair mengatakan putusan tersebut mengandung kesesatan terselubung.
"Putusan DKPP yang berjumlah tidak lebih dari 195 halaman mengandung rekayasa dan kesesatan terselubung. Hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan putusan (ratio decidendi) putusan DKPP," ujar Abdul dalam keterangannya, Selasa (6/2/2024).
"DKPP dalam ratio decidendi menyatakan bahwa, 'tindakan Para Teradu menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 adalah tindakan yang sudah sesuai dengan Konstitusi' (halaman 188). Frasa 'tindakan yang sudah sesuai dengan konstitusi', sepertinya tepat, namun kalimat tersebut tidak konsisten dan tidak tepat," sambungnya.
Ia menyebut keputusan DKPP tak mengubah hasil penetapan batas usia capres dan cawapres yang diketok oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menegaskan keputusan MK bersifat final dan mengikat.
"Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat umum (erga omnes) yang langsung dilaksanakan (selfexecuting), dan oleh karenanya tidak memerlukan atau menunggu revisi terhadap undang-undang. Secara mutatis mutandis berlaku bagi regulasi di bawah undang-undang (in casu Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)," ujarnya.
Lebih lanjut, Abdul juga membahas iktikad baik KPU terhadap putusan MK terkait pencalonan Gibran sebagai cawapres. Menurutnya, KPU sudah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan keadilan dan substansial berkaitan perubahan yang terjadi terkait pencalonan presiden dan wakil presiden.
"Berbagai langkah yang ditempuh oleh KPU sejalan dengan hukum progresif guna mewujudkan keadilan substansial. Kreativitas Komisioner KPU dengan menerbitkan surat kepada pimpinan Partai Politik, pengajuan konsultasi kepada DPR dan pengajuan kepada Dirjen Kemenkumham terkait harmonisasi merupakan aktualisasi yang tepat guna. KPU telah mengambil posisi yang benar dalam mengutamakan keadilan. Demikian itu sejalan dengan cita hukum, bahwa keadilan menempati peringkat pertama setelah kepastian dan kemanfaatan," ujarnya.
Selain itu, Abdul berpandangan KPU wajib menerima pendaftaran pencalonan presiden dan wakil presiden dari pihak mana pun. Dengan demikian, dia menilai DKPP sesungguhnya telah melakukan penyelundupan hukum dan rekayasa.
"Pada prinsipnya, KPU wajib menerima pendaftaran pencalonan paslon Prabowo-Gibran sebagai capres dan cawapres. Kewajiban tersebut melebihi kewajiban yang lainnya, semisal melakukan revisi terlebih dahulu terhadap Pasal 13 ayat (1) huruf q PKPU Nomor 19 Tahun 2023," jelasnya.
"KPU didalilkan melakukan pelanggaran, namun ternyata tidak ditemukan fakta adanya itikad tidak baik. Putusan DKPP menghindari pembuktian asas bonafides. DKPP melalui putusannya telah melakukan penyelundupan hukum dan rekayasa yang mengandung kesesatan terselubung. Dapat disimpulkan bahwa tindakan KPU telah didasarkan atas aturan dan prosedur (rules and procedures). Hal sebaliknya, putusan DKPP dipertanyakan apakah telah sejalan dengan aturan dan prosedur? Penulis tidak perlu lagi menjelaskan yang sudah jelas," lanjut dia.
Diketahui, keputusan DKPP dibacakan Ketua DKPP Heddy Lugito di gedung DKPP yang disiarkan di YouTube DKPP, Senin (5/2).
"Memutuskan, mengabulkan pengaduan para pengadu untuk sebagian," ucap Heddy.
"Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy'ari," lanjutnya. Bukan hanya Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari, anggota KPU lainnya juga dijatuhi sanksi peringatan. Mereka adalah Yulianto Sudrajat, August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Parsadaan Harahap, Idham Holik, dan M Afifuddin.
Namun Heddy sempat menegaskan putusan tersebut hanya berkaitan dengan etik. Menurutnya, putusan itu tidak mengganggu pencalonan Gibran.
"Ini kan murni putusan etik, nggak ada kaitannya dengan pencalonan. Nggak ada," kata Heddy. ***