”Di negara demokrasi, semua orang memang bebas menyampaikan pendapat. Namun, perlu kami sampaikan bahwa sebagian besar yang disampaikan film tersebut adalah sesuatu yang bernada fitnah,” ujar Habiburokhman dalam konferensi persnya di Media Center TKN Prabowo-Gibran, Jakarta pada Minggu (11/2/2024).
Argumentasi yang disampaikan para pakar, kata Habiburokhman, juga berkesan tendensius untuk menyudutkan pihak-pihak tertentu. Sebab, tidak ada klarifikasi atau melibatkan pihak yang berkaitan dengan filmnya, misalnya pemerintahan dan peserta pemilu.
Dalam argumentasi Zainal Arifin Mochtar, misalnya, penunjukan 20 penjabat kepala daerah di 20 provinsi yang dikaitkan dengan wilayah yang mencakup lebih dari setengah total pemilih dinilai memiliki maksud politis dan orkestrasi pemenangan salah satu pasangan calon. TKN Prabowo-Gibran menilai, pernyataan itu tidak masuk akal. Lagi pula, penunjukan penjabat kepala daerah merupakan konsekuensi yang sudah disepakati.
Hal yang sama, kata dia, juga berlaku pada pernyataan Bivitri Susanti soal kecurangan luar biasa dalam Pemilu 2024. Habiburokhman menganggap hal itu tidak berdasar karena tidak disebutkan secara spesifik tindakan curang dan proses hukum yang sudah berlangsung.
”Saya, kok, merasa sepertinya ada tendensi, keinginan untuk mendegradasi pemilu dengan narasi yang sangat tidak mendasar. Kami mengingatkan, ketika mereka menyampaikan informasi yang tidak ada dasarnya, terus memenuhi unsur fitnah, maka sudah melanggar hukum,” ujarnya.
Meskipun begitu, TKN Prabowo-Gibran belum menentukan apakah akan menempuh jalur hukum terkait tayangan film Dirty Vote. Mereka bakal memberikan waktu untuk masyarakat menilai maksud di balik film tersebut. Sebab, baik dilaporkan maupun tidak, konsekuensi tetap akan dirasakan oleh pihak yang terlibat dalam film.
Film karya Dandhy Laksono yang diluncurkan pada Minggu (11/2/2024) sekitar pukul 11.00 itu bertujuan mengedukasi pemilih seputar kecurangan pemilu. Durasi film hampir dua jam dan bisa disaksikan melalui Youtube dari akun Dirty Vote. Film itu melibatkan tiga pakar hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. ***
Indonesian Islamic News Agency (IINA)