Jakarta — Penggunaan sistem pembayaran nasional seperti Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) menjadi sorotan dalam perundingan perdagangan antara Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat (AS). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia telah menindaklanjuti masukan dari pihak AS dengan melakukan koordinasi bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan BI, terutama terkait dengan payment yang diminta oleh pihak Amerika," ujar Airlangga dalam konferensi pers daring, dikutip Minggu (20/4/2025).
Meski demikian, Airlangga belum merinci lebih lanjut langkah-langkah konkret yang akan diambil pemerintah Indonesia dalam menanggapi permintaan tersebut. Sorotan dari pihak AS terhadap sistem pembayaran nasional Indonesia sejatinya bukan hal baru. Pada tahun 2019, dua perusahaan kartu internasional asal AS, Mastercard dan Visa, sempat melobi pemerintah Indonesia dan BI terkait kewajiban penggunaan GPN.
Sebagai informasi, sejak diluncurkan pada 2017, GPN mewajibkan pemrosesan transaksi pembayaran domestik dilakukan melalui perusahaan switching lokal yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh investor dalam negeri. Aturan ini mengharuskan Visa dan Mastercard untuk bermitra dengan penyedia layanan lokal, sehingga tidak dapat memproses transaksi nasabah secara langsung dari luar negeri, seperti Singapura.
Pada 2019, beredar kabar bahwa Indonesia akan menghapus kewajiban tersebut bagi Mastercard dan Visa, sebuah keputusan yang disebut-sebut sebagai hasil dari tekanan diplomatik dan lobi intensif dari pemerintah AS. Reuters melaporkan bahwa terdapat komunikasi intensif melalui email antara pejabat AS dan eksekutif perusahaan kartu sejak April 2018 hingga Agustus 2019, termasuk upaya melobi agar aturan serupa dihapuskan di negara-negara lain seperti India, Vietnam, Laos, Ukraina, dan Gana.
Ketentuan GPN disebut-sebut dapat berdampak pada penurunan keuntungan perusahaan kartu internasional, terutama dari biaya transaksi kartu kredit di Indonesia. Oleh karena itu, permintaan agar Indonesia memberikan pengecualian terhadap kewajiban GPN menjadi salah satu agenda dalam negosiasi dagang antara kedua negara.
Permintaan tersebut juga dikaitkan dengan keinginan Indonesia untuk kembali memperoleh fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari AS, yaitu fasilitas pengurangan tarif bea masuk untuk produk ekspor. Fasilitas GSP diketahui telah ditangguhkan oleh AS sejak tahun 2022, dan hingga kini Indonesia masih berupaya untuk mengembalikannya.
Negosiasi terkait sistem pembayaran nasional Indonesia dan akses pasar bagi perusahaan AS menjadi bagian penting dari dinamika hubungan dagang kedua negara, di tengah upaya Indonesia memperkuat kedaulatan sistem pembayaran dalam negeri. (DL/GPT)